Langsung ke konten utama

Tentang saya, dan kota kelahiran saya (Baturaja)


BATURAJA... yeah








Setiap orang pasti punya rasa hutang budi terhadap kota kelahirannya... Begitu pula aku...

Baturaja.... nama yang mungkin sangat asing di telinga beberapa orang. Tapi, tidak bagiku. Aku akrab dengan kata itu, aku akrab dengan kota itu, aku hapal aroma embunnya di pagi hari, aku tau dengan pasti alur dan tiap lekuk jalannya, aku tahu... aku hapal... karena aku menghabiskan waktu di sana selama lebih dari 17 tahun. Dan entah mengapa, sekeras apapun aku mencoba melupakan semua kenangan buruknya, kenangan indahnya akan menyeretku jauuuh... lebih dalam lagi.

Tidak ada yang terlalu spesial dari kota kelahiranku. Tidak ada taman aneka bunga di tengah kota, tidak ada toko buku yang bagus, tidak ada wahana seluncur es (ya iyaaalah lu kiree.. XD). Tapi entah mengapa aku selalu rindu... malah kadang melebihi rinduku pada JAY CHOU yang keren banget waktu main di green horned (weeeew.... :*). Ok, be seriously!!, saat ini aku rindu.. rindu sekali berjalan-jalan seorang diri menyesapi teduh pohon sakura ungu, lalu kemudian jatuh cinta lagi dengan keindahannya. Saat ini aku rindu, rindu sekali berenang dengan ban hitam di sungai belakang rumahku. Saat ini aku rindu sekali pada ayah dan ibu, saat ini aku rindu sekali diajari PR oleh ayah, saat ini aku rindu sekali dimarahi ibu. Saat ini aku rindu sekali rebutan remote control dengan kakak-kakakku. Saat ini aku rindu... rindu sekali.... -______-.
Kota ini tempat aku bertemu dengan seseorang (ciyeeeee....) cina kecil di toko kopi saat usiaku masih 5 tahun. Kota ini tempat aku bertemu seseorang lagi (aceeeeekekeeeewer...) yang sudah banyak memberikan pelajaran berharga selama hampir 7 tahun terakhir. Kota ini tempat aku bertemu.... (ehhhmmm...) sapa lagi yak', gak ada lagi kayaknya. Harap dimaklumi, aku adalah sejenis spesies yang susah untuk diajak berkomitmen. Satu kelemahan dan kelebihan fatal, susah mencoba untuk mencintai dan susah memutuskan untuk melupakan. 
Kota ini juga awal dari semua impian dimulai. Tidak semua terwujud memang, tapi aku sudah cukup bersyukur dan kalau aku melihat balik ke belakang, aku yakin sudah tidak ada penyesalan dan dengan mudahnya aku malah tersenyum.
Bermimpilah setinggi langit, bila pun kamu terjatuh. Kamu akan terjatuh di antara bintang-bintang.
Di kota kecil ini pula aku perlahan-lahan berhasil meraih impianku satu demi satu. Tidak, jangan dikira impian itu hanya melulu soal akademik. Jujur semasa SMA kemarin aku sudah cukup jenuh melihat kembali lagi namaku terpampang di sebuah piagam. Jujur, jenuh sekali. Ada satu hal yang aku pahami dari setumpuk piagam itu, walaupun sebenarnya aku sangat bersyukur. Piagam-piagam itu adalah simbol bahwa aku pernah berada di puncak mimpiku, lalu setelah itu apa? Karena itu, aku sangat berterimakasih atas nasihat seseorang yang mengatakan.
"Keluarlah dek, tinggalkan kampung halamanmu. Maka, kamu akan menemui orang-orang baru, kamu akan menemui orang-orang yang jauh lebih hebat. Dan dari merekalah kelak kamu akan banyak belajar."
Di kota kecil ini aku pernah berhasil merajut mimpi tentang bagaimana seharusnya seorang gadis itu tumbuh. Aku tidak ingin melihat seorang gadis yang terus ada di dekapan mamahnya sampai tidak bisa lagi memutuskan semuanya seorang diri. Aku tidak mau, maka aku tidak tumbuh seperti itu. Aku tidak ingin pula menjadi seorang gadis pesolek yang mementingkan bagaimana bentuk wajahnya di kaca dibandingkan bagaimana kamu menjawab soal ulangan besok. Aku tidak mau, maka aku tidak pernah seperti itu. Aku pula tidak ingin tumbuh menjadi seorang gadis yang selalu memakai mobil orang tua kemana-mana, menghabiskan separuh gaji papahnya untuk mentraktir kawan-kawannya, beli baju model terbaru dan pernak-pernik tertentu. Aku tidak mau, dan aku memutuskan tidak tumbuh seperti itu. Aku ingin punya sesuatu, punya sesuatu yang bisa dianggap sebagai aku. Punya sesuatu yang semuanya adalah hasil jerih ku. Dan dari kota kecil itu lah aku tumbuh menjadi aku yang sekarang, dari gadis kecil yang punya banyak sekali impian dan kemudian mulai meniti satu per satu mimpi itu, walaupun tidak semuanya mulus, walaupun tidak semua berakhir bagus. But at least, when I grow old now.. I thought, I've been satisfied.
Aku, aku berhutang banyak sekali pada kota kelahiranku. Aku berhutang pada pohon-pohon sakura ungu, terimakasih atas inspirasinya selama ini. Aku berhutang pada riak sungai di belakang rumahku. Aku berhutang pada bangunan SD, SMP, dan SMA ku dan seluruh spesies yang pernah menghuninya. Aku berhutang pada lapangan Ahmad Yani yang sekarang sudah dibobol abis menjadi taman kota. Aku berhutang pada kenangan sepanjang Jalan Bindung Langit Lawang Kulon. Aku berhutang pada sudut kecil di tengah Jalan Ahmad Yani, rumahku tercinta. Aku berhutang pada semua orang yang pernah mengisi hari-hariku selama hampir 17 tahun aku selalu berada di sana. Aku berhutang pada ayah, ibu, dan kakak-kakakku tercinta. Dari kesemuanya itu aku hanya bisa menjanjikan sesuatu, yaitu dimanapun aku berada aku akan selalu mengingat itu semua. ^___^

Hal terakhir yang ingin aku katakan tentang kota kelahiranku, kamu adalah tempat terbaik yang dianugrahkan Tuhan untukku tumbuh dan berkembang. Terima kasih.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat Ayah dan Dunia yang Hilang

a ku mengingat ayah, kulit duku, kayumanis, kacamata tanpa bingkai, es kacang hijau kopi hitam, gebrakan gaplek, tawa terbahak setiap malam, dan kalkulasi aneh di belakang catatan. aku mengingat ayah, aku memikirkan: dunia yang hilang. hukum Engel, buku toefl terbitan pertama,  musik country,  mobil merah,  serta langit sore ilalang menari, sungai kecil membelah jembatan. tanpa tahu mesti lewat mana, aku akan senantiasa mengiringi keniscayaan taklimat ayah, syahdan, semua napas cerita yang memejamkan mata tentang mimpi, tentang batu bernyanyi pada suatu negeri. aku ingin bernyanyi seperti batu,  suatu hari nanti pada sebuah negeri tentang kesia-siaan laku manusia,  nostalgia atas hal-hal sentimentil, tentang airmata dan penderitaan kehidupan tetapi bukankah kita tidak mesti menderita untuk bisa bernyanyi?

Slow Conscious Living

I planted passion fruit tree in my backyard and catched another sunset. Harvested some chives, and finely chopped to make some choi pan today. Walked barefoot on grass. Trimmed my red rose. Read a lot of book, i mean aloooot. Try a new recipe. Breastfeeding regulary. Watch Miesha plays with Kiano (her boyfriend, she told me) almost every evening. Make two cups of tea, and talk about herself and himself. Sleepless. Found a new night skincare routine. Connecting with Makka's eyes. Searching for the best coffee every weekend. Enjoy my maternity leave simply because I didn't have to pretend to be friendly and talkactive officemate. I love my sanctuary, my solitude that only contains kids, books, sketchs, plants, coffee, and receiving funny videos from him. Finally it is time to my fvcking introvert personality dominate. Tonight, I am thinking about making Kombucha and Sourbread and Burn cheesecake and  also  how to sing Ikan dalam Kolam with a nice cengkok properly.  A lot th...

Salad Pepaya Muda (Dedicated to Shachan9370)

Aku punya teman, aahhhhh.. Hobinya jalan-jalan, aaaaah.. aaaahhh.. aaaaahhh.. Ia gitu, beberapa dari kita mungkin punya teman yang hobi traveling sendirian. Kalau aku sih entah kenapa bisa adore banget dengan orang-orang yang bisa ngelakuin itu. Bayangin aja, pesen tiket, urus visa, urus ini urus itu, cari info, bikin itinerary sendiri bukan perkara yang mudah. Modal yang diperlukan sangat besar, bukan cuma materi dan waktu, tapi ada yang lebih penting dari itu namanya mental berani.  Mental berani itu, gak semua orang punya. Banyak dari kita, mayoritas malah, memaknai hidup ini cuma untuk sekadar mencari tempat yang aman tanpa membuka peluang untuk menikmati pengalaman yang lebih menyenangkan dari sekadar hidup, bertahan mencari kenyamanan lalu mati. Menghabiskan banyak waktu untuk sekadar memikirkan ketakutan absurd yang sebenarnya pun tidak perlu dipikirkan. Nah, orang-orang berjiwa petualang biasanya memiliki kadar ketakutan absurd yang cukup rendah. Entah aku termas...