Setelah semua rasa yang pernah bersemi. sebagian berani terungkap sebagian lagi tersimpan di relung hati yang erat terkunci. Setelah setangkai bunga, sekeranjang bunga, sederas air mata, dan setumpuk puisi romansa picisan. Aku kerap tertawa sembari menyebutnya masa-masa kejayaan hormon remaja. Kamu pun pasti pernah mengalami euforia itu bukan?
Lalu kemudian, kamu menyadari matahari semakin cepat datang dan pergi, silih berganti. Hari mengikat janji akan semakin mendekati, entah dengan siapa kita tak pernah tahu. Tetapi yang jelas, telah katakan dengan terus terang kepadamu, sebagian dari kita akan menikahi orang yang tidak kita cintai. Entah, kita berdua akan melakukan hal yang sama atau tidak. Lain waktu, pernah pula kukatakan kepadamu, sebagian dari kita akan menikah hanya karena saatnya untuk menikah. Bagaimana dengan kita, apakah kita juga akan seperti itu. Lagi-lagi yang aku lakukan hanya tertunduk menatap sepatu, lalu kukatakan entahlah untuk kesekian kali.
Saat ini yang bisa aku lakukan hanya menitipkan perasaan pada awan, pada rintik hujan, pada tarian ilalang, dan pada pertanda-pertanda yang sudah kujanjikan untuk dipahami. Bukankan kita berdua percaya Tuhan selalu memberi jawaban dengan cara yang paling ajaib sekalipun. Aku meyakini semesta akan menunjukkan pertanda kalau dia merestui. Percayalah sayang, kamu tidak perlu terburu untuk memaksakan.
Seperti kemarin, saat kita sudah lelah untuk meramal masa depan. Sudah terlalu kuat tergenggam sampai terasa mencekik. Sudah terlalu letih untuk bermain dengan perasaan. Sepertinya kemarin saat yang tepat untuk sama-sama menenangkan diri, merunut kisah lagi. Kalau pun kita sudah tidak mampu bertahan lagi, sayang, aku ingin kamu yang meninggalkan.
Kemudian saat semua itu telah dirumuskan, langit tiba-tiba menjadi cerah, buih ombak mau bergelanyut lagi di sela-sela kaki, daun-daun akasia jatuh dengan indah. Indra penciumanku terdistorsi. Tercium aroma tubuhmu di sela-sela pasir, menyusup di celah-celah pepohonan, bersinergi dengan liukan ombak lalu sampai di tepian hidungku. Kalau kuterka sepertinya itu aroma perpaduan musk, daun semanggi, wangi laut di sore hari, dan pipi bayi yang baru mandi. Aroma tubuhmu itu konon membuatku jatuh hati berkali-kali, selama hampir 12 tahun ini. Kemudian aku sadari, mungkin ini pertanda nomor satu.
Aku merindukanmu.
Komentar
Posting Komentar