Suatu sore di bulan Februari, matahari barusan saja muncul setelah mengalah pada gerimis sedari pagi. Seperti biasa, saya meluangkan waktu sejenak untuk sekadar mengamati. Mengamati untuk memberi makan pada jiwa yang saya biarkan puasa hampir setengah tahun ini. Beruntung sekali, nasib menggariskan saya untuk singgah di tempat ini. Sebuah kota di sebelah tempat kelahiran saya. Kesamaan garis wajah, skema tutur sapa, bahan yang dijadikan canda membuat saya sangat menikmati hari-hari yang dihabiskan selama ini.
Ada hal-hal kompleks yang baru saya sadari saat ini. Sebelum masuk dunia kerja, saya benar-benar mengabaikan pengaruh materi terhadap hidup seseorang. Teori Ajahn Brahm tentang cacing-cacing yang senantiasa menggali dan makan kotorannya sendiri benar-benar terbukti. Betul, materi bisa mempererat koneksi secara instan. Koneksi bisa mempermudah hidupmu dalam berbagai sisi. Jika hidup ini hanya berupa pencapaian-pencapaian yang harus terlaksana, entah dengan cara apa saja. Namun, risiko yang kamu tanggung adalah melepaskan rasa damai dan bahagia. Saya rasa itu tidak sepadan. Tidak pernah sepadan.
Jika bekerja melulu hanya mencari uang, lalu whuups kebutuhan hidupmu, keinginanmu akan selalu bisa, selalu akan bisa menghabiskan uangmu. Sementara uang yang kamu butuhkan itu entah berasal dari mana, entah dalam perolehannya pernah menyakiti siapa saja, namun kamu pura-pura mengabaikan. Bukankan penghargaan dari orang lain, canda tawa yang tidak dibuat-buat, rasa disayangi sekaligus dihormati akan ilmumu tidak akan pernah tergantikan oleh materi apapun.
Umur sekarang, mau tidak mau, suka tidak suka, sebagian kamu akan menghabiskan lebih dari sepertiga harimu dengan orang-orang baru. Keluarga dunia kerja, kalau aku boleh menyebutnya. Anggotanya akan terus berganti-ganti, ada yang akan memasuki ada pula yang bersiap meninggalkan. Begitu pulalah hakikat kehidupan. Pada semua kehidupan, selalu ada yang tidak sejalan dengan keinginan, akan selalu ada rasa sakit yang tertahan. Lalu, mau bagaimana? Hal yang paling mudah adalah merubah. Susah? Memang! Lalu? Jika memang ada beberapa hal yang begitu sulit diubah, maka jalan satu-satunya adalah menerima. Kamu harus berdamai dengan ketidaksukaan itu, kepahitan itu. Toh dengan menerima tidak akan mengubahmu menjadi pecundang. Penerimaan itu akan menciptakan ketenangan di hatimu. Lalu, bukankah kamu akan bisa dengan jelas berkaca di hati yang tenang. Bukankah pada akhirnya jalan yang akan dicari setiap manusia itu adalah jalan ketenangan. Lalu, kenapa kamu begitu sukar untuk menerima?
Remainder: Baca ini, jika suatu hari pondasimu mulai goyah!
(tabula rasa, setelah hampir setahun kerja)
Komentar
Posting Komentar