Langsung ke konten utama

Dad (1959-2015)

I'm a dady girl, always. Sejak saya bisa mengingat memori masa kecil, ayah selalu ada. Ayah yang mengantar pagi-pagi ke sekolah naik motor, bonceng tiga dengan kakak-kakak. Ayah yang selalu membelikan makanan pecinan yang enak sekali tiap sore. Ayah yang sewaktu kecil menemani mandi ke sungai di kampung dengan speedo hitam andalannya (lucu, karena saat itu orang mandi ke sungai masih pakai kain sampang). Ayah yang membelikan kacamata paripurna super mahal, saat saya ketauan minus dua. Ayah yang mengajarkan filosofi tentang  Tuhan, kehidupan, dan hakikat manusia. Ayah yang marah ketika anaknya yang masih kecil sudah punya pacar (pacar itu yang kemudian ikut merawat dan menghantar beliau ke kubur, terimakasih). Ayah yang selalu bangga menceritakan prestasi anak-anaknya yang sebenarnya biasa saja. Ayah yang sampai akhir hayatnya sangat menyayangi anak perempuannya. Ayah yang pada akhirnya tidak sempat menikahkan anak perempuannya. Ayah yang sempurna dengan segala ketidaksempurnaannya. I am proud of you, dad. Always.


Tahun 2002, zaman di mana artis F4 booming, Westlife lagi naik daun, sampai kontestan AFI terpilih menjadi idola teman-teman seusia pada masa itu. idola saya sudah jelas, tidak lain tidak bukan ayah saya. Ayah mempunyai kecerdasan di atas rata-rata. Sejak kecil beliau selalu juara kelas. Fasih berbahasa inggris dan arab. Bergelar master of bussiness administration, saat universitas terbesar di Pulau Sumatera saja belum membuka program S2. Beliau mempunyai pekerjaan yang sangat stabil di daerah Bontang, entah mananya Kalimantan, dan kemudian ditinggalkannya untuk lebih dekat dengan anak-anaknya. Beliau sangat sederhana, bahkan di zaman-zaman keemasannya pun beliau tetap tidak suka membesar-besarkan apa yang dia punya.

Di saat-saat terakhirnya, ayah sempat kehilangan kesadaran selama lima hari. Pada malam ayah kehilangan kesadaran, saya menemuinya di salah satu rumah sakit Palembang. Kata dokter, kesadaran ayah hanya berkisar 4/12. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya perasaan kami saat itu. Namun sesaat sebelum ayah dipindahkan ke ruangan intensive care unit, saya sempat sesugukan nangis dan bilang " Ayah, apapun yang terjadi adek bangga sama ayah." Kemudian, dokter datang. Saya baru sadar ternyata ayah membuka mata, ada tiga air menetes membekas di bantalnya. Dokternya bingung kenapa ayah saya bisa membuka mata, terus bertanya " Ini ayahnya kapan sadar?" Saya  bilang, barusan waktu saya ajak ngobrol. Dokternya mengerti, lalu memohon izin saya untuk segera mengambil tindakan dengan membawa ayah ke ruang ICU. Setelah itu saya tidak pernah melihat ayah saya membuka mata lagi.

Saat ayah meninggal, rasanya sesak di dada ingin saya keluarkan dengan ratapan dan raungan. Tidak ada kesedihan yang lebih sedih dari kehilangan seorang yang tidak akan bisa tergantikan. Tapi saya sadar, menangis tidak akan membuat jalan ayah tenang. Menangis pula tidak mungkin membuat beliau kembali lagi. Saya hanya bisa berdoa. Berdoa agar beliau senantiasa dicintai dan disayangi oleh Sang Pencipta. Berdoa agar beliau disana tidak akan pernah lagi merasa sakit, dan kesakitan selama di dunia biarlah menjadi penebus dosa-dosa beliau semasa hidup.  Saya juga percaya, untuk manusia yang tidak terlalu memikirkan dunia seperti beliau, ketenangan dan kedamaian akan mudah beliau capai. 


Saya kehilangan, tentu saya kehilangan. Namun, memang sejatinya kita semua harus pulang, bukan? Sepuluh hari yang saya habiskan berdua dengan beliau di rumah sakit adalah hal yang sangat berharga dalam hidup saya. Saya kira cuti pertama saya akan dihabiskan di suatu destinasi wisata, mungkin Borobudur saat Waisak, atau Jepang saat sakura lagi mekar. Tetapi Allah punya rencana yang lebih indah dari sekadar menghabiskan cuti dengan hal itu. Saya diizinkan untuk merawat ayah saya, perawatan kami memang tidak sempurna, jauuuuh dari sempurna. Tapi inilah bakti yang bisa anak-anak berikan untuk ayah. Semoga ayah selalu bahagia, tenang dan selalu dicintai Allah.


Doakan kami menjadi manusia bermanfaat ya yah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat Ayah dan Dunia yang Hilang

a ku mengingat ayah, kulit duku, kayumanis, kacamata tanpa bingkai, es kacang hijau kopi hitam, gebrakan gaplek, tawa terbahak setiap malam, dan kalkulasi aneh di belakang catatan. aku mengingat ayah, aku memikirkan: dunia yang hilang. hukum Engel, buku toefl terbitan pertama,  musik country,  mobil merah,  serta langit sore ilalang menari, sungai kecil membelah jembatan. tanpa tahu mesti lewat mana, aku akan senantiasa mengiringi keniscayaan taklimat ayah, syahdan, semua napas cerita yang memejamkan mata tentang mimpi, tentang batu bernyanyi pada suatu negeri. aku ingin bernyanyi seperti batu,  suatu hari nanti pada sebuah negeri tentang kesia-siaan laku manusia,  nostalgia atas hal-hal sentimentil, tentang airmata dan penderitaan kehidupan tetapi bukankah kita tidak mesti menderita untuk bisa bernyanyi?

Slow Conscious Living

I planted passion fruit tree in my backyard and catched another sunset. Harvested some chives, and finely chopped to make some choi pan today. Walked barefoot on grass. Trimmed my red rose. Read a lot of book, i mean aloooot. Try a new recipe. Breastfeeding regulary. Watch Miesha plays with Kiano (her boyfriend, she told me) almost every evening. Make two cups of tea, and talk about herself and himself. Sleepless. Found a new night skincare routine. Connecting with Makka's eyes. Searching for the best coffee every weekend. Enjoy my maternity leave simply because I didn't have to pretend to be friendly and talkactive officemate. I love my sanctuary, my solitude that only contains kids, books, sketchs, plants, coffee, and receiving funny videos from him. Finally it is time to my fvcking introvert personality dominate. Tonight, I am thinking about making Kombucha and Sourbread and Burn cheesecake and  also  how to sing Ikan dalam Kolam with a nice cengkok properly.  A lot th...

Salad Pepaya Muda (Dedicated to Shachan9370)

Aku punya teman, aahhhhh.. Hobinya jalan-jalan, aaaaah.. aaaahhh.. aaaaahhh.. Ia gitu, beberapa dari kita mungkin punya teman yang hobi traveling sendirian. Kalau aku sih entah kenapa bisa adore banget dengan orang-orang yang bisa ngelakuin itu. Bayangin aja, pesen tiket, urus visa, urus ini urus itu, cari info, bikin itinerary sendiri bukan perkara yang mudah. Modal yang diperlukan sangat besar, bukan cuma materi dan waktu, tapi ada yang lebih penting dari itu namanya mental berani.  Mental berani itu, gak semua orang punya. Banyak dari kita, mayoritas malah, memaknai hidup ini cuma untuk sekadar mencari tempat yang aman tanpa membuka peluang untuk menikmati pengalaman yang lebih menyenangkan dari sekadar hidup, bertahan mencari kenyamanan lalu mati. Menghabiskan banyak waktu untuk sekadar memikirkan ketakutan absurd yang sebenarnya pun tidak perlu dipikirkan. Nah, orang-orang berjiwa petualang biasanya memiliki kadar ketakutan absurd yang cukup rendah. Entah aku termas...