I'm a dady girl, always. Sejak saya bisa mengingat memori masa kecil, ayah selalu ada. Ayah yang mengantar pagi-pagi ke sekolah naik motor, bonceng tiga dengan kakak-kakak. Ayah yang selalu membelikan makanan pecinan yang enak sekali tiap sore. Ayah yang sewaktu kecil menemani mandi ke sungai di kampung dengan speedo hitam andalannya (lucu, karena saat itu orang mandi ke sungai masih pakai kain sampang). Ayah yang membelikan kacamata paripurna super mahal, saat saya ketauan minus dua. Ayah yang mengajarkan filosofi tentang Tuhan, kehidupan, dan hakikat manusia. Ayah yang marah ketika anaknya yang masih kecil sudah punya pacar (pacar itu yang kemudian ikut merawat dan menghantar beliau ke kubur, terimakasih). Ayah yang selalu bangga menceritakan prestasi anak-anaknya yang sebenarnya biasa saja. Ayah yang sampai akhir hayatnya sangat menyayangi anak perempuannya. Ayah yang pada akhirnya tidak sempat menikahkan anak perempuannya. Ayah yang sempurna dengan segala ketidaksempurnaannya. I am proud of you, dad. Always.
Tahun 2002, zaman di mana artis F4 booming, Westlife lagi naik daun, sampai kontestan AFI terpilih menjadi idola teman-teman seusia pada masa itu. idola saya sudah jelas, tidak lain tidak bukan ayah saya. Ayah mempunyai kecerdasan di atas rata-rata. Sejak kecil beliau selalu juara kelas. Fasih berbahasa inggris dan arab. Bergelar master of bussiness administration, saat universitas terbesar di Pulau Sumatera saja belum membuka program S2. Beliau mempunyai pekerjaan yang sangat stabil di daerah Bontang, entah mananya Kalimantan, dan kemudian ditinggalkannya untuk lebih dekat dengan anak-anaknya. Beliau sangat sederhana, bahkan di zaman-zaman keemasannya pun beliau tetap tidak suka membesar-besarkan apa yang dia punya.
Di saat-saat terakhirnya, ayah sempat kehilangan kesadaran selama lima hari. Pada malam ayah kehilangan kesadaran, saya menemuinya di salah satu rumah sakit Palembang. Kata dokter, kesadaran ayah hanya berkisar 4/12. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya perasaan kami saat itu. Namun sesaat sebelum ayah dipindahkan ke ruangan intensive care unit, saya sempat sesugukan nangis dan bilang " Ayah, apapun yang terjadi adek bangga sama ayah." Kemudian, dokter datang. Saya baru sadar ternyata ayah membuka mata, ada tiga air menetes membekas di bantalnya. Dokternya bingung kenapa ayah saya bisa membuka mata, terus bertanya " Ini ayahnya kapan sadar?" Saya bilang, barusan waktu saya ajak ngobrol. Dokternya mengerti, lalu memohon izin saya untuk segera mengambil tindakan dengan membawa ayah ke ruang ICU. Setelah itu saya tidak pernah melihat ayah saya membuka mata lagi.
Saat ayah meninggal, rasanya sesak di dada ingin saya keluarkan dengan ratapan dan raungan. Tidak ada kesedihan yang lebih sedih dari kehilangan seorang yang tidak akan bisa tergantikan. Tapi saya sadar, menangis tidak akan membuat jalan ayah tenang. Menangis pula tidak mungkin membuat beliau kembali lagi. Saya hanya bisa berdoa. Berdoa agar beliau senantiasa dicintai dan disayangi oleh Sang Pencipta. Berdoa agar beliau disana tidak akan pernah lagi merasa sakit, dan kesakitan selama di dunia biarlah menjadi penebus dosa-dosa beliau semasa hidup. Saya juga percaya, untuk manusia yang tidak terlalu memikirkan dunia seperti beliau, ketenangan dan kedamaian akan mudah beliau capai.
Saya kehilangan, tentu saya kehilangan. Namun, memang sejatinya kita semua harus pulang, bukan? Sepuluh hari yang saya habiskan berdua dengan beliau di rumah sakit adalah hal yang sangat berharga dalam hidup saya. Saya kira cuti pertama saya akan dihabiskan di suatu destinasi wisata, mungkin Borobudur saat Waisak, atau Jepang saat sakura lagi mekar. Tetapi Allah punya rencana yang lebih indah dari sekadar menghabiskan cuti dengan hal itu. Saya diizinkan untuk merawat ayah saya, perawatan kami memang tidak sempurna, jauuuuh dari sempurna. Tapi inilah bakti yang bisa anak-anak berikan untuk ayah. Semoga ayah selalu bahagia, tenang dan selalu dicintai Allah.
Doakan kami menjadi manusia bermanfaat ya yah.
Komentar
Posting Komentar