Langsung ke konten utama

Kepergian

Sore di Bulan Oktober menyimpan cerita untuk diingat. Pemahaman hidup, rindu yang tidak bisa disampaikan, penyatuan dua insan, sampai berita kehilangan. Kematian. Sore ini saya mendapat kabar salah satu kolega di lingkungan kerja  telah mendahului kami menghadap Yang Maha Kuasa. Berita yang cukup mengejutkan karena beliau pergi dalam senyap. Senyap yang tidak merepotkan. Senyap yang mandiri. Senyap yang saya doakan ada bahagia di akhir nafasnya.

Hakikat manusia sebagai makhluk yang esa memaksa saya untuk kembali merenungi jati diri. Betapa  susahnya saya selama ini  mencoba mengatasi rasa ketakutan untuk membaur dengan berbagai lapisan sosial, menghadapi tidak nyamannya perasaan tidak diterima, mengkhawatirkan penilaian, dan parahnya sampai saat ini masih belajar untuk menganulir perasaan ingin disukai. Hal yang paling mustahil untuk dilakukan. Menyenangkan semua orang.

Tanpa saya sadari, gesekan sosial ini menggerus jati diri. Saya terlalu takut untuk menghadapi konsekuensi dari kenyamanan menjadi individu yang menyukai kesendirian. Mungkin bagi yang tidak paham, tidak akan tahu rasanya lelahnya mengumpulkan keberanian di lingkungan yang asing dan memaksa untuk bertegur sapa pada sekumpulan orang yang belum tentu menyukaimu juga. Sebagian juga tidak akan memahami betapa nikmatnya berdiam diri di rumah, membaca buku, memasak dan menikmati matahari sore yang surut dengan hikmat. Lalu mengakhiri malam dengan berinteraksi dengan lingkaran individu yang membuat nyaman. Mengapa selama ini saya terlalu takut dengan konsekuensi menyukai waktu sendiri. Mengapa pula  saya  kita terkadang bersusah payah untuk menjadi bagian dari interaksi sosial yang ada. Padahal yang paling penting itu bukan interaksinya, tapi manfaatnya. Manfaat keberadaan kita pada sebuah sistem. Kita bisa menjadi "sosial butterfly" tapi malah tidak membawa manfaat apa-apa bagi orang-orang disekitar kita. Sudah kerap terjadi bukan?

Hari ini bersebelahan dengan blog beliau saya menulis memoar ini. Beliau singgah di kehidupan saya sangat sebentar, namun saya merasakan manfaat dari motivasi beliau yang senantiasa mengarahkan adik tingkatnya untuk terus mengembangkan diri. Cita-cita beliau besar, terlalu besar untuk instansi yang masih terengah-engah berlari cepat tanpa tahu tujuan akhirnya dimana ini. Kepergian beliau mengajarkan saya, kehidupan di dunia bukan soal bagaimana kita datang dan bagaimana kita pergi. Lebih dari itu adalah bagaimana manfaat kita bagi kehidupan orang lain. Hari ini juga saya belajar, kepergian kita suatu hari akan dilupakan. Yang diingat hanyalah manfaat yang juga hilang ketika saatnya pergi dari dunia telah tiba.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat Ayah dan Dunia yang Hilang

a ku mengingat ayah, kulit duku, kayumanis, kacamata tanpa bingkai, es kacang hijau kopi hitam, gebrakan gaplek, tawa terbahak setiap malam, dan kalkulasi aneh di belakang catatan. aku mengingat ayah, aku memikirkan: dunia yang hilang. hukum Engel, buku toefl terbitan pertama,  musik country,  mobil merah,  serta langit sore ilalang menari, sungai kecil membelah jembatan. tanpa tahu mesti lewat mana, aku akan senantiasa mengiringi keniscayaan taklimat ayah, syahdan, semua napas cerita yang memejamkan mata tentang mimpi, tentang batu bernyanyi pada suatu negeri. aku ingin bernyanyi seperti batu,  suatu hari nanti pada sebuah negeri tentang kesia-siaan laku manusia,  nostalgia atas hal-hal sentimentil, tentang airmata dan penderitaan kehidupan tetapi bukankah kita tidak mesti menderita untuk bisa bernyanyi?

Slow Conscious Living

I planted passion fruit tree in my backyard and catched another sunset. Harvested some chives, and finely chopped to make some choi pan today. Walked barefoot on grass. Trimmed my red rose. Read a lot of book, i mean aloooot. Try a new recipe. Breastfeeding regulary. Watch Miesha plays with Kiano (her boyfriend, she told me) almost every evening. Make two cups of tea, and talk about herself and himself. Sleepless. Found a new night skincare routine. Connecting with Makka's eyes. Searching for the best coffee every weekend. Enjoy my maternity leave simply because I didn't have to pretend to be friendly and talkactive officemate. I love my sanctuary, my solitude that only contains kids, books, sketchs, plants, coffee, and receiving funny videos from him. Finally it is time to my fvcking introvert personality dominate. Tonight, I am thinking about making Kombucha and Sourbread and Burn cheesecake and  also  how to sing Ikan dalam Kolam with a nice cengkok properly.  A lot th...

Salad Pepaya Muda (Dedicated to Shachan9370)

Aku punya teman, aahhhhh.. Hobinya jalan-jalan, aaaaah.. aaaahhh.. aaaaahhh.. Ia gitu, beberapa dari kita mungkin punya teman yang hobi traveling sendirian. Kalau aku sih entah kenapa bisa adore banget dengan orang-orang yang bisa ngelakuin itu. Bayangin aja, pesen tiket, urus visa, urus ini urus itu, cari info, bikin itinerary sendiri bukan perkara yang mudah. Modal yang diperlukan sangat besar, bukan cuma materi dan waktu, tapi ada yang lebih penting dari itu namanya mental berani.  Mental berani itu, gak semua orang punya. Banyak dari kita, mayoritas malah, memaknai hidup ini cuma untuk sekadar mencari tempat yang aman tanpa membuka peluang untuk menikmati pengalaman yang lebih menyenangkan dari sekadar hidup, bertahan mencari kenyamanan lalu mati. Menghabiskan banyak waktu untuk sekadar memikirkan ketakutan absurd yang sebenarnya pun tidak perlu dipikirkan. Nah, orang-orang berjiwa petualang biasanya memiliki kadar ketakutan absurd yang cukup rendah. Entah aku termas...