Langsung ke konten utama

Berpamitan

Berada di keramaian menambah keyakinanmu untuk memilih kesendirian. Panggung yang penuh hingar bingar yang memekakan telinga terasa palsu. Sinar lampu itu semakin menyilaukan. Manusia-manusia boleh saja bukan objek favoritmu. Namun tetap kamu tahu tentang mereka, kemudian mencoba menyelami dan memahami kegilaannya. Saat sinar rembulan meretas malam, kamu dan mereka berubah menjadi serigala buas. Beberapa malah menjadi anjing dengan kepinding di tengkuknya. Oh, sungguh menyeramkan.

Atau barangkali tanpa kamu sadari kamu menyukai perasaan ditinggalkan saat kamu sendirian. Tanpa bermaksud mengatakan kamu membenci kebersamaan dengan orang lain. Tentu saja, kamu senang  berada di sekitar orang-orang yang kamu cintai dan mencintai kamu dengan tulus. Celakanya, tidak ada ukuran pasti untuk menyaring ketulusan di lubuk hati manusia. Oh, sungguh menyeramkan.

Atau barangkali tanpa kamu sadari kamu mencemooh orang yang membenci kesendirian. Kamu lantas berpikir, terkadang manusia terlalu membesar-besarkan kebersamaan. Diam-diam kamu suka menertawakan mereka yang menampakkan kemesraan, namun hakikatnya saling menikam. Lucunya, mereka yang sejatinya sedang menautkan hati, justru nampak tak saling sapa saat bersama. Entah apa yang mereka sembunyikan. Oh, sungguh menyeramkan.

Atau barangkali tanpa kamu sadari kamu sedang menyelaraskan hidup. Semacam menemukan cara sederhana untuk menikmati kepedihan dan menyantap kebahagiaan dalam satu meja. Semacam menangkap intisari kehidupan dan menjalaninya secara bersamaan. Semacam menggabungkan mosaik imajinasi, realitas, dan menyatukannya menjadi sebuah mahakarya. Semacam itulah. Semacam berjalan menjauh dari kerumunan dan semakin mendekat, melekat kepada hakikat diri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat Ayah dan Dunia yang Hilang

a ku mengingat ayah, kulit duku, kayumanis, kacamata tanpa bingkai, es kacang hijau kopi hitam, gebrakan gaplek, tawa terbahak setiap malam, dan kalkulasi aneh di belakang catatan. aku mengingat ayah, aku memikirkan: dunia yang hilang. hukum Engel, buku toefl terbitan pertama,  musik country,  mobil merah,  serta langit sore ilalang menari, sungai kecil membelah jembatan. tanpa tahu mesti lewat mana, aku akan senantiasa mengiringi keniscayaan taklimat ayah, syahdan, semua napas cerita yang memejamkan mata tentang mimpi, tentang batu bernyanyi pada suatu negeri. aku ingin bernyanyi seperti batu,  suatu hari nanti pada sebuah negeri tentang kesia-siaan laku manusia,  nostalgia atas hal-hal sentimentil, tentang airmata dan penderitaan kehidupan tetapi bukankah kita tidak mesti menderita untuk bisa bernyanyi?

Slow Conscious Living

I planted passion fruit tree in my backyard and catched another sunset. Harvested some chives, and finely chopped to make some choi pan today. Walked barefoot on grass. Trimmed my red rose. Read a lot of book, i mean aloooot. Try a new recipe. Breastfeeding regulary. Watch Miesha plays with Kiano (her boyfriend, she told me) almost every evening. Make two cups of tea, and talk about herself and himself. Sleepless. Found a new night skincare routine. Connecting with Makka's eyes. Searching for the best coffee every weekend. Enjoy my maternity leave simply because I didn't have to pretend to be friendly and talkactive officemate. I love my sanctuary, my solitude that only contains kids, books, sketchs, plants, coffee, and receiving funny videos from him. Finally it is time to my fvcking introvert personality dominate. Tonight, I am thinking about making Kombucha and Sourbread and Burn cheesecake and  also  how to sing Ikan dalam Kolam with a nice cengkok properly.  A lot th...

Salad Pepaya Muda (Dedicated to Shachan9370)

Aku punya teman, aahhhhh.. Hobinya jalan-jalan, aaaaah.. aaaahhh.. aaaaahhh.. Ia gitu, beberapa dari kita mungkin punya teman yang hobi traveling sendirian. Kalau aku sih entah kenapa bisa adore banget dengan orang-orang yang bisa ngelakuin itu. Bayangin aja, pesen tiket, urus visa, urus ini urus itu, cari info, bikin itinerary sendiri bukan perkara yang mudah. Modal yang diperlukan sangat besar, bukan cuma materi dan waktu, tapi ada yang lebih penting dari itu namanya mental berani.  Mental berani itu, gak semua orang punya. Banyak dari kita, mayoritas malah, memaknai hidup ini cuma untuk sekadar mencari tempat yang aman tanpa membuka peluang untuk menikmati pengalaman yang lebih menyenangkan dari sekadar hidup, bertahan mencari kenyamanan lalu mati. Menghabiskan banyak waktu untuk sekadar memikirkan ketakutan absurd yang sebenarnya pun tidak perlu dipikirkan. Nah, orang-orang berjiwa petualang biasanya memiliki kadar ketakutan absurd yang cukup rendah. Entah aku termas...