(sore)
Setelah sekian kemarau, hujan turun lagi dengan derasnya. Sumur-sumur yang kering mulai terisi dengan air. Ilham masih seperti dulu, berdiri di depan pintu biru, dan suaranya berputar-putar di kepalaku. Sore itu saat bau tanah mulai menyentuh hidung, kami bercengkrama lagi. Ilham bercerita tentang seorang gadis pencari kerang yang ditemuinya di tepian sungai, yang katanya ingin sekali melihat musim gugur. Walau sekejap pertemuan itu memiliki makna yang dalam. Ia memperkenalkan namanya, Chandara Wira. Lama mereka tertegun memandang aliran sungai. Setelah saling melempar pandangan mata. Chandara Wira berani bertanya kepada Ilham, bagaimana rupa musim gugur. Dia bercerita tentang impiannya menari dengan ditengah geguguran daun mapel, memakai mantel berwarna cokelat, dan meminum kopi mengepul dari termos yang dibawa dari apartemen. Lalu kenapa kamu tidak bergegas untuk pindah ke utara atau selatan, berhentilah mengumpulkan kerang-kerang dungu ini. Tinggalkan kota tawar ini, bergegaslah. Chandara Wira tersenyum datar, dagunya terlihat begitu manis. Lalu beranjak pergi meninggalkan tepian sungai dengan ember yang terlihat berat di kedua tangannya.
(malam)
Mungkin inilah kelemahan manusia, yang selalu berlebihan meletakkan harapan-harapan pada orang-orang sekitarnya. Pada pemimpin negara, pada sufi dan ulama, pada kedua orangtua, pada anak-anak, pada pasangan, pada teman-teman terdekat. Pada akhirnya, kita semua akan terkejut saat tahu hal keji apa yang mampu dilakukan manusia ketika semua topeng terlepas. Kita semua sedang menunggu dengan sabar dan sadar kapan kita akan saling melepaskan ramah tamah palsu itu. Ah, manusia memang makhluk yang paling mengecewakan.
Terlepas dari itu juga, manusia terkadang suka memandang kecil dirinya sendiri. Membawa beban yang terlihat terlalu berat. Namun, terlalu pengecut untuk melepaskannya. Membiarkan dirinya percaya akan metafora kerdil, meletakkan kebahagiaan pada adiksi yang menyiksa, kafein, nikotin, alkohol, heroin, morfin, cinta, aaah cinta. Tidak bisakah kita berbahagia atas pikiran yang sadar. Tidak bisakah kita dengan tenang menerima realitas dan hidup dengan damai. Tidak bisa? maka teruslah hidup dengan membawa beban itu.
(pagi)
Ada tanah kosong di ujung kampung. Tempat yang paling nyaman untuk menghirup udara pagi selepas hujan. Aku menemukan seorang gadis sedang menggali sumur. Peluhnya menetes, anak rambutnya kusut, ujung celananya yang kepanjangan menyentuh tanah merah. Cangkulnya terus mengeruk cekungan yang cukup dalam. Aku menyapanya dari atas lubang. Dia tersenyum mendekat kearahku. Walau sebentar, pertemuan ini memberi banyak makna. Ia memperkenalkan namanya, Chandara Wira. Ah, Chandara Wira. Dia bercerita kepadaku suatu malam enam bulan yang lalu, dia berdoa kepada Tuhan untuk memberikan musim kemarau terpanjang dan terkering. Agar semua daun menguning, kemudian gugur. Dan angin membawa geguguran daun bergelung-gelung dan dia bisa menari bersamanya. Agar dia bisa sedikit berbahagia tanpa perlu ke utara atau selatan. Namun, tanpa sadar ia telah menyebabkan petaka lain. Sumur warga kering, saban hari warga kampung harus membasuh diri di sungai, atau membeli air untuk diisi ke dalam penampungan air masing-masing. Aliran air yang keruh dan berwarna kecoklatan dari perusahaan daerah, ah jangan diharapkan. Sungguh kapitalis bukan?
Chandara Wira berjanji, saat hujan pertama ia akan membangun sumur di ujung kampung untuk menebus doanya itu. Dia sangat menikmati momentum menari dengan geguran daun, dan berbahagia atas itu. Namun dia juga menyadari petaka yang timbul setelahnya. Aku tersenyum dan menyudahi percakapan. Dia balik tersenyum, sebelum kembali mengayuhkan paculnya. Benar sekali, dagunya manis. Aku kembali ke rumah dan membawakannya setermos kopi mengepul beserta kue yang baru kukeluarkan dari oven. Aku menyadari, gadis ini manusia baik. Semoga dunia memberikan semua kebaikan dan tidak memadamkan mimpi-mimpinya. Dunia ini sudah terlalu penuh dengan manusia laknat yang berani berbuat, tetapi tak berani menanggung akibatnya. Chandara Wira, bukan salah satunya. Aku tidak sabar ingin menceritakan ini kepada Ilham.
Komentar
Posting Komentar